Filosofi Jenang Suro (bubur suro), makanan khas Jawa pada peringatan 1 Muharram
Jenang suro bukanlah sesajen yang bersifat animistik, namun lebih dari itu memiliki banyak makna di dalamnya.
Bagi umat Islam, terutama yang tinggal di pulau Jawa, tahun baru Islam merupakan salah satu hari yang istimewa dan penuh makna. Dirayakan setiap tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriyah, tahun baru Islam di beberapa daerah akan dimeriahkan dengan berbagai prosesi adat, mulai dari ruwatan, melaksanakan tirakatan, hingga kirab budaya. Sebab, tahun baru Islam memang bertepatan dengan datangnya hari pertama bulan Suro dalam kalender Jawa.
Tanggal 1 Suro atau 1 Muharram dalam tarikh Islam atau 1 Asyura diperingati oleh masyarakat Jawa dengan cara khas dan dilaksanakan secara turun-temurun selama berabad-abad. Seperti halnya dalam tradisi dan budaya yang lain, setiap ritual pelintasan (rites of passage) selalu diiringi dengan elemen kuliner sebagai lambang.
Masyarakat Jawa menghadirkan jenang suro / bubur suro atau bubur suran pada malam menjelang datangnya 1 Suro. Dalam konsep Jawa, setelah lewat pukul empat petang dianggap sudah memasuki hari baru. Kenang suro bukanlah sesajen yang bersifat animistik.
Jenang suro dibuat dari beras, santan, garam, jahe, dan sereh. Rasanya gurih dengan nuansa asin-pedas yang tipis. Di atas jenag suro ditaburi ikan dan lauk pauk, serta tujuh jenis kacang, yaitu kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, dan kacang bogor yang sebagian digoreng, sebagian direbus. Boleh juga dikasih irisan ketimun dan beberapa lembar daun kemangi.
Jenang suro memang tak hanya berfungsi sebagai pengganjal lapar, namun terdapat banyak makna dan doa dalam sepiring bubur tradisional Jawa tersebut.
Jenang suro merupakan pengejawantahan rasa syukur manusia atas keselamatan yang selama ini diberikan oleh Allah SWT. Namun di balik itu, bubur suro (Jawa) selain simbol dari keselamatan, juga pengabadian atas kemenangan Nabi Musa as, dan hancurnya bala Firaun. Oleh karena itu barang siapa berpuasa dihari ‘asyura’ seperti berpuasa selama satu tahun penuh, karena puasa di hari ‘asyura’ seperti puasanya para Nabi.
Intinya hari ‘syura’ adalah hari istimewa. Banyak keistimewaan yang diberikan oleh Allah pada hari ini, di antaranya adalah pelipat gandaan pahala bagi yang melaksanakan ibadah pada hari itu. Hari ini adalah hari kasih sayang, dianjurkan oleh semua muslim untuk melaksanakan kebaikan, menambah pundi-pundi pahala dengan bersilaturrahim, beribadah, dan banyak sedekah terutama bersedekah kepada anak yatim-piatu.
Jenang suro, baik yang dituangkan oleh Nabi Nuh as. maupun yang dimasak oleh para nenek moyang bukanlah satu-satunya bentuk sedekah yang harus dilaksanakan pada bulan Muharam. Jenang suro hanyalah perlambang bahwa bulan Muharram, awal tahun baru Hijrah merupakan momentum untuk memperkokoh persaudaraan. Karena sejatinya jenang suro yang telah dimasak tak mungkin disembunyikan, pastilah untuk dihidangkan. Ada baiknya hidangan itu dibagikan kepada tetangga dan sanak keluarga. Sebagai tanda syukur atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Nikmat umur terutama. Jika demikian logikanya, maka jenang suro itu bisa diganti dengan parcel berisi buah-buahan, atau serantang maknan, atau beberapa tusuk sate maupun iga bakar. Karena subtansinya adalah bersilaturrahmi membagi rasa sukur kepada sesama.